Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batubara. Kebijakan ini resmi berlaku selama 1 bulan sejak 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022. Pihak kementerian beralasan bahwa kebijakan ini terpaksa harus diambil karena kondisi defisit stok batubara yang dialami oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN. Kementerian ESDM juga berujar bahwa apabila kebijakan ini tidak diambil maka sebanyak 10 juta pelanggan dari berbagai kawasan di seluruh Indonesia berpotensi akan mengalami pemadaman listrik.
Latar Belakang Munculnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Batubara
Pihak Kementerian ESDM berujar bahwa kebijakan kali ini merupakan langkah yang terpaksa harus mereka lakukan. Alasan yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan ini adalah kondisi PLTU milik PLN saat ini yang hanya memiliki stok batubara untuk 20 hari ke depan. Kondisi ini terbilang cukup miris karena mirip dengan kejadian serupa yang sempat terjadi di India maupun Cina. Kondisi ini bahkan diperparah dengan status Indonesia yang merupakan negara eksportir batubara terbesar ke-2 di dunia.
Pihak pemerintah beralasan kondisi ini terjadi bukan tanpa sebab. Pemerintah sendiri sebenarnya telah mewajibkan perusahaan batubara untuk mengirimkan 25% dari total produksi tahunan mereka ke pasar domestik untuk kebutuhan PLTU. Jika dijumlahkan, seharusnya terdapat stok sekitar 5 juta metrik ton batu bara untuk setiap bulan. Namun hingga tanggal 1 Januari 2022, baru tercapai angka 35.000 metrik ton batubara. Nilai ini setara dengan kurang dari 1% total kebutuhan bulanan batubara di seluruh PLTU di seluruh Indonesia.
Diklaim Hanya Sementara
Dengan alasan tersebut, pihak Kementerian ESDM maupun PLN berujar bahwa kebijakan ini hanya bersifat sementara. Apabila kebutuhan batubara sudah terpenuhi, maka para pengusaha akan kembali diizinkan untuk melakukan ekspor produk batubara mereka. Meski demikian, pihak pemerintah sendiri berujar bahwa hal ini masih bersifat dinamis. Pemerintah sendiri menjadwalkan akan mengevaluasi kebijakan ini pada tanggal 5 Januari mendatang untuk melihat perkembangan yang terjadi di lapangan.
Terkait hal ini, beberapa pihak pengusaha batubara dikabarkan menolak kebijakan ini. Penjualan batubara di dalam negeri yang kurang menguntungkan ditengarai menjadi alasannya. Apalagi para pengusaha mengklaim bahwa mereka sebenarnya telah memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik di sektor batubara. Oleh karena itu, kebijakan pelarangan ekspor ini justru akan merugikan pihak mereka.
Menyoal Ketergantungan Indonesia pada Energi Fosil
Kebijakan pelarangan ekspor maupun potensi pemadaman listrik yang berdampak pada 10 juta pelanggan listrik di Indonesia seharusnya tidak perlu terjadi. Hal ini sebenarnya bisa dihindari seandainya saja pemerintah mengurangi ketergantungan mereka terhadap energi fosil. Walaupun Indonesia baru-baru ini sudah bergaung dalam daftar negara yang berkomitmen mengurangi emisi karbon, hal ini tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat. Hal ini bisa dilihat dari masih besarnya porsi pembangkit listrik energi fosil di Indonesia. Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU bahkan menyumbang porsi yang cukup besar.
Seandainya saja pemerintah serius pada pembangkit energi terbarukan sejak jauh hari, kondisi ini sebenarnya dapat dihindari. Indonesia sendiri hingga saat ini terkesan tidak semangat ketika tiba halnya pada pembangkit listrik tenaga energi terbarukan. Hal ini bisa dilihat dari masih kecilnya jumlah pembangkit bertipe ini. Bahkan walau Indonesia sudah membangun pembangkit listrik tenaga angin, hal ini tidak serta merta melepaskan ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Oleh karena itu, jika pemerintah serius ingin memberikan kepastian energi kepada masyarakat, iklim investasi kepada pengusaha, serta perlindungan pada lingkungan, cara terbaik adalah dengan kembali serius berfokus pada pengembangan energi terbarukan.