China Evergrande menghiasi topik pemberitaan di Indonesia dan berbagai belahan dunia belakangan ini. Hal ini karena perusahaan asal Cina tersebut ditengarai tidak akan mampu melakukan pembayaran utang sesuai dengan tenggat jatuh tempo yang telah ditetapkan pihak pemberi utang. Tak tanggung-tanggung, jumlah utang yang harus dibayar pihak perusahaan kabarnya mencapai ribuan triliun rupiah. Besarnya hutang yang dimiliki oleh pihak perusahaan bahkan dikabarkan turut mendorong pihak pemerintah Cina untuk mengambil langkah intervensi. Namun, di tengah riuhnya pemberitaan terkait perusahaan properti tersebut, satu pertanyaan penting muncul. Apa yang akan terjadi seandainya kasus serupa terjadi di Indonesia?
Sekilas tentang Kasus China Evergrande
China Evergrande adalah salah satu kasus kredit macet yang sukses menyita perhatian dunia. China Evergrande sendiri adalah sebuah perusahaan raksasa asal China. Perusahaan inia awalnya berfokus pada sektor properti di negeri Tirai Bambu tersebut. Namun dalam beberapa waktu terakhir, perusahaan dikabarkan gencar melakukan ekspansi ke berbagai sektor di luar sektor inti korporasi. Sayangnya, langkah ini tidak didukung dengan ketersediaan uang tunai yang cukup dari pihak perusahaan. Untuk mendukung aksinya tersebut, perusahaan bergantung pada utang yang diperoleh dari berbagai pihak. Hal ini tidak terkecuali dari lembaga perbankan yang berada di negeri yang sama.
Sayangnya, setelah beberapa saat, pihak perusahaan dikabarkan hampir mustahil menyelesaikan pembayaran yang mulai mendekati jatuh tempo. Pihak perusahaan bahkan telah berupaya bekerjasama dengan para auditor keuangan profesional hingga lembaga pengawas terkait di negeri Cina untuk menyelesaikan masalah ini. Pihak perusahaan juga dikabarkan berupaya menjual beberapa aset properti milik mereka untuk menyelesaikan masalah ini. Sayangnya, hingga saat ini masih belum diperoleh sejumlah dana yang cukup untuk menyelesaikan permasalahan hutang tersebut. Di sinilah masalah mulai terjadi. Mengingat besarnya hutang yang dilakukan oleh perusahaan, banyak pihak mengkhawatirkan hal ini akan mendorong tingginya kredit macet di sektor perbankan. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya tingkat likuiditas perbankan.
Seandainya Terjadi di Indonesia
Kondisi yang terjadi dengan China Evergrande mirip dengan kondisi krisis ekonomi yang pernah dialami oleh Indonesia pada tahun 1998 silam. Dalam kondisi seperti ini, pihak perbankan akan mengalami kredit macet dalam jumlah signifikan. Akibatnya, pihak perbankan akan kesulitan menyalurkan kredit kepada pihak-pihak lain yang dibutuhkan. Tak hanya itu, rendahnya likuiditas perbankan akan menyulitkan pihak perbankan dalam memenuhi kewajiban mereka kepada para nasabah seperti misalnya pembayaran bunga dan deposito maupun produk-produk perbankan lain kepada nasabah.
Tak hanya itu, mengingat dana yang digunakan untuk kredit berasal dari dana nasabah sendiri, kondisi seperti ini akan mendorong pihak perbankan untuk mempersulit nasabah dalam menarik maupun menggunakan dana mereka. Akibatnya, tingkat konsumsi masyarakat luas akan mengalami penurunan. Hal ini secara langsung akan memicu terjadinya inflasi dalam jumlah besar. Jika tidak dikendalikan dengan baik, hal ini bisa berdampak pada kekacauan ekonomi suatu bangsa. Dampaknya pun tidak hanya berhenti di sini. Mengingat saat ini interaksi antarnegara dalam perdagangan global telah meningkat, kondisi semacam ini juga dapat merembet ke negara-negara lain. Hal ini sudah kita lihat sebelumnya pada krisis global yang terjadi pada tahun 2008 silam.
Belajar dari Kasus China Evergrande
Kasus China Evergrande sejatinya merupakan kasus yang sudah diantisipasi oleh pemerintah Indonesia belajar dari kasus 1998 silam. Kabar baiknya, lembaga perbankan Indonesia saat ini telah memiliki berbagai instrumen dan otoritas yang hadir untuk memastikan hal ini tidak kembali terulang. Salah satu di antaranya adalah pemisahan OJK dari bank sentral. Dengan hadirnya OJK dan peran serta intervensi bank sentral, pihak perbankan akan didorong untuk menerapkan asas kehati-hatian dalam pemberian kredit, terutama dalam jumlah besar kepada sektor korporat.
Hal ini dilakukan untuk menekan tingkat kredit macet di sektor perbankan. Langkah ini diharapkan mampu membendung dampak negatif dari krisis China Evergrande. Langkah ini penting karena dengan besarnya skala kredit macet yang disebabkan korporasi properti asal China tersebut, bukan tidak mungkin jika kemudian dampaknya menyebar secara global, baik cepat maupun lambat.